“Untuk apa aku berbohong, tak ada untungnya sama sekali.
Matamu telah dibutakan cinta hingga kau tak menyadari dia hanya mempermainkanmu
saja.”
“Ali mencintaiku, dia berjanji akan menikah denganku.”
“Kau bilang cinta! Mau menikah! Naif sekali dirimu, kau
bahkan tak tahu Ali itu siapa. Aku tak akan pernah setuju kau menikah
dengannya”
“Apa hakmu melarangku?”
“Aku ini abangmu. Pasti ingin yang terbaik agar kau
bahagia. Bukan buaya darat yang mengaku cinta dan memberi janji semata tanpa
bukti yang nyata.”
“Mana buktinya kalau Ali memperalatku?”
“Bukti! Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri dia
bergandengan mesra dengan seorang dara. Kelihatan dari raut wajahnya kalau dia
mencintainya.”
“Lantas kenapa abang tidak menegurnya?”
“Untuk apa? Ketika mata kami tak sengaja bertatapan hanya
sekilas raut mukanya terkejut melihatku, dan segera menguasai keadaan berlalu
begitu saja seolah tak terjadi apa-apa. Tak sedikitpun rasa bersalah, dasar
buaya. Dia bahkan menganggapku tak ada.”
“Tidak mungkin, dia seperti itu”
“Aku tahu kau sangat sayang padanya. Tapi kau
pertimbangkan lagi apa yang kukatakan. Jangan sampai menyesal kemudian. Itu
sebabnya ayah tak pernah mengizinkan anak-anaknya pacaran sebelum menikah. Akan
banyak hati yang kecewa dan terluka karenanya. Baiklah, Abang pergi dulu masih
banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Assalamualaikun”
“Waa’laikumsalam warahmatullah”
Kutermangu di ruang ini, pikiranku terbang bersama angin
waktu, melayang-layang ke masa lalu, dan mendarat di tempat pertama kali kita
bertemu. Kala itu tak sengaja tangan kita beradu. Ketika kau coba membantu membawakan buku-bukuku yang
terjatuh karena menabrakmu yang sedang buru-buru.
“Maaf, bukunya jadi jatuh semua. Kenalin aku Ali kuliah
di teknik mesin. Kamu?”
“Ana”
“Kuliah di teknik arsitektur ya?”
“Kok tahu?”
“Soalnya di kampus ini yang banyak mahasiswinya, cuma
teknik arsitektur”
“Ooh”
“O itu bulat”
“Apa? Nggak ngerti maksudnya?”
“Kalau kita bilang huruf O, mulutku pasti jadi bulat.”
Aku hanya tersenyum mendengar penjelasanmu. Begitu
lihainya kau memainkan kata-kata. Hingga aku lupa kesalahanmu menabrakku.”
“Ini buku-bukunya dah beres semua. Maaf yaa, nggak
sengaja. Aku masih ada kuliah, lain kali bisa ngobrol lagi?”aku hanya
mengangguk
“Dah Ana!” pamitmu padaku seolah kita sudah mengenal
lama.
*****
Kantin teknik di
jam makan siang seperti ini selalu ramai. Berharap masih ada bangku kosong,
perutku mulai keroncongan. Hari ini kuliahku padat sekali, dan dari pagi cuma sarapan roti.
“Hei Ana duduk disini saja” aku hanya diam memantung
masih ragu. Tempat duduk yang kau tawarkan
begitu sempit, dan penuh dengan teman-temanmu yang rata-rata laki-laki.
“Ayo sini. Mereka dah pada selesai kok! Huss...huss...ayo
gantian masih banyak yang lapar”
Seolah tahu isi kepalaku. Kaupun mengusir teman-temanmu
dengan mimik yang lucu. Tampak gerutuan di antara teman-temanmu tak rela diusir
seperti itu.
“Iya, iya....kami duluan. Pak komting kalau lagi lapar
ngeri. Main usir-usir orang.”
“Ayo Ana ini bangkunya sudah kosong.” Sepertinya memang
tidak ada pilihan lain hanya bangku di sampingmu saja yang kosong. Kumantapkan
hati menghampirimu.
“Nah, gitu donk.
Aku nggak akan gigit kok. Jangan takut” aku hanya tersenyum mendengar
ucapannya. Benar-benar orang yang ramah dan humoris.
“Diantara miliaran manusia. Pasti Tuhan mempunyai alasan
kenapa kita dipertemukan. ”
“Maaf, aku nggak ngerti maksudmu bisa dijelaskan?”
“Ha..ha..ha, nggak perlu minta maaf lagi. Kamu orangnya
nggak pernah bercanda ya? Maksudku dalam sehari ini sudah dua kali kita bertemu
tanpa disengaja. Pasti Tuhan mempunyai alasan kenapa kita dipertemukan? Mungkin
kita jodoh”
Seringan itu dia mengatakannya baru dua kali berjumpa
tanpa direncanakan benarkah ini disebut jodoh. Terlalu tinggi dia memberi
harapan. Apa mungkin semua laki-laki seperti itu? Pandai merangkai kata dan
merayu kepada semua wanita yang dijumpainya.
“Hai, bengong aja. Kamu kenapa lagi ada masalah? Coba
cerita siapa tahu aku bisa bantu. Ngomong-ngomong makan siangnya aku yang bayar
ya. Sebagai permintaan maaf karena menabrakmu tadi pagi.”
“ Nggak perlu, aku bisa bayar sendiri.”
“ Jangan gitu donk atau jangan-jangan kamu masih marah
karena kutabrak tadi pagi?”
“Nggak, bukan gitu.
Aku nggak biasa aja dibayarin sama orang yang baru kenal.”
“Oh gitu, kenapa? Takut diguna-guna? Tenang aku bukan
orang seperti itu kok atau kalau kamu nggak mau dibayarin gimana kalau aku
antar pulang saja?”
“Nggak usah makasih, santai ajalah aku nggak marah kok.
Nggak usah lebay gitu.”
“Kenapa, takut pacarnya marah yaa?”
“Aku nggak punya pacar dan nggak minat pacaran”
“Kenapa punya pengalaman pahit sama mantan pacar? Kamu
bukan pencinta sesama jeniskan?”
“Mau kamu apa sih! Ngajak berantem nanya kaya gitu, aku
cewek normal. Aku suka laki-laki tapi aku nggak pacaran sebelum menikah.”
“Aduh maaf, jangan salah paham dulu. Jarang sekali aku
temui cewek cantik seperti kamu tapi nggak punya pacar itu aja. Maaf kalau
pertanyaanku membuatmu tersinggung.”
“Terus sekarang sudah tahu, aku nggak punya pacar kamu
mau apa?”
“Nggak apa-apa, sebenarnya mau daftar jadi pacar. Tapi
nggak buka lowongan ya?”
“Memangnya pekerjaan pakai buka lowongan?”
“Kamu tambah manis kalau lagi marah kaya gitu. Tapi aku
masih penasaran dengan prinsip kamu nggak pacaran sebelum menikah. Apa kamu
nggak bakalan merasa membeli kucing dalam karung.”
“Kamu pandai ngegombal yaa. Apa semua perempuan kamu rayu
seperti ini?
“Tidak hanya orang yang kusuka saja. Kamu belum jawab
pertanyaanku?
“Pertanyaa yang mana? Memangnya penting jawabanku?”
“Penting banget.”
“Karena pacar belum tentu jadi suami. Suami sudah pasti
jadi pacar. Aku tidak suka sesuatu yang tidak pasti. Itu hanya membuang energi.
Yuk kita makan, pesanannya dah sampai.”
Dua piring mie
Aceh dan dua gelas air putih tersaji di meja kami. Sungguh menguggah selera
dengan rasanya yang khas apalagi
disajikan dengan kepiting. Sayang di kantin kami hanya terdapat menu standar mie Aceh dengan tambahan kerupuk muling dan acar sebagai pelengkap.
“Penggemar mie Aceh juga yaa? Tanyamu sambil makan.
“Banget. Kalau lagi makan jangan sambil ngomong nanti
keselek.”
“Kalau nggak sambil makan kaya gini belum tentu bakal ada kesempatan ngobrol denganmu
lagi. Uhuk...uhuk.”
“Baru diomongin udah kejadian. Neh minum biar enakan”
“Aduh sakit banget
keselek cabe. Makasih yaa. Tempat tinggalmu dimana? Boleh kuantar pulang?”
“Nggak usah makasih, aku naik labi-labi aja.
“Ana lain kali kita ngobrol lagi yaa.”
“Oke”
***
“Assalamualaikum.”tok...tok...tok “assalamualaikum”
Ketukan di pintu dan ucapan salam membuyarkan lamunanku.
Cut sahabatku datang. Sudah lama kami tak bersua sejak dia menikah dan
memutuskan ikut dengan suaminya ke Jakarta.
“Masuk Cut, sudah lama banget yaa kita nggak ketemu. Apa
kabar? Tumben neh bisa main lagi kemari. “ tanyaku sambil memeluk dan cium pipi
kanan dan kiri Icut.”
“Baik, alhamdulillah. Iya, kebetulan suamiku meninjau
proyek disini. Ya sudah sekalian aku minta ikut kangen sama kamu dan
teman-teman yang lain. Kapan neh aku dapat undangannya?”
“”Undangan apa?”
“Undangan pernikahanmulah, apa lagi. Aku ingin tahu
lelaki mana yang berhasil menaklukan putri salju sepertimu.”
Aku hanya tertawa mendengar perkataan Icut. Putri salju
gelar yang diberi padaku, karena dinginnya sikapku pada laki-laki dan sering
membuat mereka patah hati. Tapi sekarang lihatlah aku begitu menyedihkan seolah
karma menimpaku. Aku menelan kata-kataku sendiri.
“Na, kamu kenapa? Apa ada yang salah ya dengan
kata-kataku? Aku minta maaf”
“Nggak kok, kamu nggak salah apa-apa. Aku cuma terharu
kita bisa ketemu lagi.”
“Ngomong-ngomong, gimana kabar Ali?” kuterdiam, ragu untuk
menjawab. Kenapa hari ini semua orang mendadak peduli dengan kabar Ali.
“Nggak tahu.” jawabku lirih
“Kok, bisa nggak tahu? kamukan pacarnya.”
Pacar itu apa? kenapa menjadi kabur definisinya setelah
aku bertemu Ali. Prinsipku tidak ada pacaran sebelum menikah goyah karena
sikapnya yang pantang menyerah walau berkali-kali kutolak. Dia tetap rajin
menyapa sekedar tanya kabar. Bahkan terakhir dia berhasil mendapatkan nomor hapeku tanpa harus kuberi tahu. Semua
tentang Ali telah merubah hidupku.
“Na, kamu nggak apa-apa? Kok, bisa nggak tahu? kamukan pacarnya.”
Icut mengulang kembali pertanyaan. Seolah menegaskan dia tak puas dengan
jawabanku.
“Yaa aku nggak tahu. Setelah tsunami dia mulai sulit
untuk dihubungi. Pernah kucoba menunggu di tempat kuliahnya mencoba mencari
penjelasan atas hubungan kami. Tapi dia berhasil menghindar. sms nggak dibalas.
Telepon nggak diangkat. Aku digantung dengan cintanya.”
“Ya ampun. Memang yaa tuh anak raja tega.
Berani-beraninya dia mainin sahabatku. Terus-terus?”
“ Yaa aku nggak tahu harus gimana? Tadi Bang Hasan bilang
dia melihat Ali bergandengan tangan mesra dengan seorang dara. Dan berpura-pura
tak kenal dengan Bang Hasan.”
“Ampun deh memang benar-benar keterlaluan yaa tuh si Ali.
Lihat aja nanti kalau sampai ketemu kuberi pelajaran dia. Terus alasan kamu
masih single fighter sampai sekarang
karena nunggu kepastian dari Ali?”
“Iya”
“Aduh, Ana...Ana. Kamu tuh hidup di zaman apa sih? Kok
lugu banget jadi orang. Ngapain buang-buang waktu dan energi sama orang yang
nggak peduli dengan kita. Kenapa juga nggak segera cari ganti? Laki-laki di
dunia ini nggak Cuma Ali.”
“Iya tahu tapi cuma Ali yang berhasil mencuri hatiku. Begitu
banyak janji dan mimpi yang diberi. Kamu tahu dari kecil aku terobsesi untuk
menikahi cinta pertamaku dan itu akan menjadi cinta yang terakhir.”
“Iya, tapi lihat kenyataannya sekarang. Di mana Ali saat
dibutuhkan. Tsunami sudah lewat sembilan tahun yang lalu sayang. Dan kamu masih
setia menunggu Ali. Itu benar-benar perbuatan yang bodoh sekali.”
“Tapi...”
“Nggak ada tapi-tapian lihat umurmu sekarang hampir
kepala tiga, masih sendirian. Apa kata orang?”
“Biar saja orang mau bilang apa, yang penting aku nyaman
dengan keadaanku.”
“Oya! Benarkah? Kenapa aku sanksi mendengarnya. Oke sekarang waktunya
kamu bangun puteri salju. Hapus khayalanmu tentang cinta pertama menjadi cinta
terakhir. Hapus juga kenanganmu dengan Ali. Dia tak lebih dari seorang buaya
kelas teri yang nggak tahu diri.”
“Aku nggak bisa.”
“Kenapa nggak bisa? Kamu nggak diapa-apain sama Ali kan?
Kamu masih perawankan?”
“Yaa Allah, Icut. Sampai hati kamu menuduhku seperti itu.
Jelek-jelek begini aku masih punya iman.”
“Lalu apa alasanmu masih menunggu Ali yang nggak jelas
batang hidungnya ada dimana? Cuma keperawanan satu-satunya alasan kenapa
seorang wanita tak bisa melupakan seorang pria. Maaf kalau kata-kataku
menyakitimu. Tapi ini untuk kebaikanmu tak akan kubiarkan kau merana lagi
karena Ali.”
“Tapi aku tak bisa.”
“Harus bisa! Hidup cuma sekali jangan sia-siakan umurmu
menunggu orang yang nggak pantas ditunggu. Seorang pria sejati tak akan
membiarkan wanita pujaannya merana. Kalau dia pria sejati dia pasti segera
melegalkan hubungan kalian ke pernikahan bukan menghilang begitu saja tanpa
memberi kepastian.
Aku hanya terdiam mendengar perkataan Icut yang berapi-api. Tak pernah
kulihat dia begitu emosi seperti sekarang ini. Ah semua gara-gara Ali hidupku
yang sempurna jadi berantakan. Sekarang baru benar-benar aku mengerti kenapa
ayah melarang anak-anaknya pacaran sebelum menikah.”
“Na, jangan kau buang-buang diri lagi. Menanti yang tak
pasti. Coba kau mulai buka hatimu lagi. Sakit karena cinta akan terobati dengan
hadirnya cinta kembali. Saat satu pintu tertutup pasti ada pintu lain yang
terbuka. Jangan terlalu lama meratapi pintu yang tertutup itu. Kamu ngertikan
maksudku.”
“Iya” jawabku lirih nyaris tak terdengar
“Aku bilang ini karena aku peduli.”
“Aku tahu.”
“Kalau gitu tunggu apa lagi? Mulai sekarang lumpuhkan
semua ingatanmu tentang Ali. Anggap saja dia sudah mati. Dan orang mati tak
pantas selalu ditangisi.”
“Apa aku bisa?”
“Kamu pasti bisa. Asal giat berlatih dan minum Milo
setiap hari.”segera kucubit pinggang Icut
“Icut, orang serius juga.”
“Maaf... maaf becanda. Yaa pasti bisa. Kamu cantik,
pinter hanya cowok bodoh yang nggak mau punya istri sepertimu. Atau sekarang
gini aja cowok mana yang kamu suka tinggal tunjuk biar Icut urusin.”
“Memangnya kalau ada coeok yang aku suka udah pasti Icut
kenal? pake acara urusin segala.”
“ Enggak sih, atau gini aja ntar aku kenalin deh sama
teman-temanku yang masih jomblo siapa tahu ada yang cocok.“
“Makasih yaa Cut buat semuanya.”
“Jangan bilang makasih dulu. Ntar kalau udah jodoh baru
bilang makasih dan jangan lupa traktir aku makan merayakan suksesnya aku jadi mak comblang.”
“Beres boss.”
“Ngomong-ngomong aku pamit pulang dulu yaa. Neh suamiku
dah sms katanya dia dah ada di depan lorong.”
“Kenapa nggak disuruh masuk aja sekalian?”
“Katanya dia lagi buru-buru ada meeting lagi habis
magrib. Yuk aku duluan. Ingat pesanku jangan ada lagi yang namanya Ali dalam memorimu”
“Siap boss.”
***
Dua puluh sembilan tahun usiaku kini. Perawan tua titel
yang mulai disematkan padaku. Hanya karena aku belum menikah. Tapi menikah juga
butuh banyak pertimbangan. Tak semudah membalikkan telapak tangan. Salah
memilih bisa jadi masalah di kemudian hari. Haruskah aku menerima siapa saa yang datang demi mengejar titel istri?
Aku tetap berbaik sangka dan terus memperbaiki diri. Menemukan jodoh
ternyata seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Pengalaman pahit dengan
Ali membuatku lebih berhati-hati lagi dalam berhubungan dengan lawan jenis.
Harapanku akan jodoh sebenarnya sederhana sekali. Aku ingin menikah dengan
orang yang bisa membuatku tertawa, sesedih apapun aku. Membuatku merasa cantik,
sejelek apapun aku. Dan membuatku merasa kaya semiskin apapun aku.
Dan dari segi penampilan suamiku itu harus menenangkan hati ketika kulihat.
Suaranya harus bagus jadi aku tak akan bosan mendengar jika dia
menasehati. Satu lagi dia harus pandai mengaji dan wawasannya
luas. Sederhanakan kriteriaku?
Kerupuk muling= kerupuk yang terbuat dari melinjo
Labi-labi= sebutan untuk angkutan umum di Aceh
Lorong= gang/jalan selebar 3-4 meter
Komting= Komisaris
letting/ ketua kelas antar angkatan/letting